Easy to say, hard to do. I guess.
Setelah kembali ke tanah air Oktober 2015, akhirnya bulan Maret 2016 lalu saya mendapat surat cinta dari sebuah perusahaan consultant kecil di ibukota. Senang bukan main. Akhirnya dapat pekerjaan yang get an easy yes from my Dad. Falen sebetulnya sudah diterima di sebuah stasiun TV berita dengan jabatan asisten director tapi, lalu, ditentang oleh semua orang. Keluarga. Alasannya sepele, karena industri itu tidak akan membuat saya menjadi orang besar. Tapi apa saya mau jadi orang besar? Kenyataannya, nampaknya mereka yang lebih ingin saya jadi orang besar. Lalu datang alasan lain. Jam kerja. Jabatan yang saya dapatkan ini kebetulan memiliki jam kerja yang bisa dibilang terbalik dari jam kerja manusia pada umumnya. Program yang saya dapatkan tayang subuh, sehingga sekitar pukul 2 pagi saya diharapkan sudah ada di studio. Memang agak riskan untuk anak wanita, tapi, saya pribadi sih ya kenapa nggak? Pun pekerjaan ini hanya 5 hari dalam seminggu seperti kantoran pada umumnya. Namun saya mendapat libur mungkin tidak di weekend. Ini pun menjadi isu untuk orang di sekitar saya. Jadi yang mau kerja ini saya atau siapa?
Akhirnya perjalanan menjadi seorang consultant saya jalani, dan, saya resign dalam 2 bulan. Alasan seribu alasan. Dimulai dari kantor yang masih baru sehingga banyak miss management. Pekerjaan yang sangat membuat stress. Tidak adanya guideline. And so on. Manja memang terlihat manja. Saya bisa dibilang kaget dan shock dengan semua yang saya temui di kantor ini. Dari politiknya, dari cara kerjanya, dari betapa saya tahunya bahwa apa yang saya kerjakan ini 'salah' tapi semua dianggap wajar. Sampai akhirnya banyak hal yang bertentangan dengan value diri saya sendiri, dengan prinsip hidup saya, dan saya putuskan untuk resign.
Namun setelah saya pikir lagi, mungkin terlepas dari external factor diatas, mungkin ada internal factor juga yang bermain disini. Orang biasa menyebutnya passion. Ah passion mah bullshit. Passion gak ngasih lo duit. Passion lo basi. Ini kalimat yang sering saya dengar dari orang sekitar. Muluk. Idealis. Egois. Bahkan kata manja, sering saya dengar dari semua orang.
Iya, saya bisa saja tahanin diri saya di kantor selama satu tahun hanya untuk 'spec' supaya saya bisa pindah ke kantor lain yang much better, tapi apa saya tahan gak bisa tidur selama setahun? Saya tahan melakukan apa yang sebenernya saya anggap salah? Saya tahan melakukan apa yang saya nggak suka?
Bagaimana kalau saya tidak mau punya 'spec' yang hanya pura-pura? Ngapain sih punya spec tapi sebenernya itu bukan diri kita sendiri? Ngapain? Kenapa disini penuh dengan kepura-puraan? Dengan kepalsuan? Saat saya bisa tegas mengatakan sesuatu yang menurut saya benar, apa yang saya suka, dan mengapa saya tidak suka akan sesuatu, mengapa menjadi saya yang salah?
Do what you love? Bullshit.
Semua bilang, kalau cari kerja yang sesuai dengan kebidangan mu, yang kamu suka jadi jalaninnya enak. Ketika saya dapat yang saya suka, lalu kenapa semua orang melarang? Hanya karena apa yang saya suka itu bukan sesuatu yang semua orang suka? Hanya karena ini asing? minoritas? tidak biasa? uangnya gak lancar? Kenapa?
Sampai saya pada kesimpulan.
Oh. Ya begini ini hidup di Indonesia. Atau mungkin di bumi. Lakukan apa yang semua orang lakukan. Karena saat kita berbeda, kita itu salah, bukan unik.
Lucu.
Semua orang itu tidak sama. Apa anak yang lemah di pendidikan formal namun ternyata genius di bidang musik itu berarti dia bodoh?