29 June 2016

Do what you love (?)

Being adult. Be an adult.

Easy to say, hard to do. I guess.

Setelah kembali ke tanah air Oktober 2015, akhirnya bulan Maret 2016 lalu saya mendapat surat cinta dari sebuah perusahaan consultant kecil di ibukota. Senang bukan main. Akhirnya dapat pekerjaan yang get an easy yes from my Dad. Falen sebetulnya sudah diterima di sebuah stasiun TV berita dengan jabatan asisten director tapi, lalu, ditentang oleh semua orang. Keluarga. Alasannya sepele, karena industri itu tidak akan membuat saya menjadi orang besar. Tapi apa saya mau jadi orang besar? Kenyataannya, nampaknya mereka yang lebih ingin saya jadi orang besar. Lalu datang alasan lain. Jam kerja. Jabatan yang saya dapatkan ini kebetulan memiliki jam kerja yang bisa dibilang terbalik dari jam kerja manusia pada umumnya. Program yang saya dapatkan tayang subuh, sehingga sekitar pukul 2 pagi saya diharapkan sudah ada di studio. Memang agak riskan untuk anak wanita, tapi, saya pribadi sih ya kenapa nggak? Pun pekerjaan ini hanya 5 hari dalam seminggu seperti kantoran pada umumnya. Namun saya mendapat libur mungkin tidak di weekend. Ini pun menjadi isu untuk orang di sekitar saya. Jadi yang mau kerja ini saya atau siapa?

Akhirnya perjalanan menjadi seorang consultant saya jalani, dan, saya resign dalam 2 bulan. Alasan seribu alasan. Dimulai dari kantor yang masih baru sehingga banyak miss management. Pekerjaan yang sangat membuat stress. Tidak adanya guideline. And so on. Manja memang terlihat manja. Saya bisa dibilang kaget dan shock dengan semua yang saya temui di kantor ini. Dari politiknya, dari cara kerjanya, dari betapa saya tahunya bahwa apa yang saya kerjakan ini 'salah' tapi semua dianggap wajar. Sampai akhirnya banyak hal yang bertentangan dengan value diri saya sendiri, dengan prinsip hidup saya, dan saya putuskan untuk resign.

Namun setelah saya pikir lagi, mungkin terlepas dari external factor diatas, mungkin ada internal factor juga yang bermain disini. Orang biasa menyebutnya passion. Ah passion mah bullshit. Passion gak ngasih lo duit. Passion lo basi. Ini kalimat yang sering saya dengar dari orang sekitar. Muluk. Idealis. Egois. Bahkan kata manja, sering saya dengar dari semua orang.

Iya, saya bisa saja tahanin diri saya di kantor selama satu tahun hanya untuk 'spec' supaya saya bisa pindah ke kantor lain yang much better, tapi apa saya tahan gak bisa tidur selama setahun? Saya tahan melakukan apa yang sebenernya saya anggap salah? Saya tahan melakukan apa yang saya nggak suka?

Bagaimana kalau saya tidak mau punya 'spec' yang hanya pura-pura? Ngapain sih punya spec tapi sebenernya itu bukan diri kita sendiri? Ngapain? Kenapa disini penuh dengan kepura-puraan? Dengan kepalsuan? Saat saya bisa tegas mengatakan sesuatu yang menurut saya benar, apa yang saya suka, dan mengapa saya tidak suka akan sesuatu, mengapa menjadi saya yang salah?

Do what you love? Bullshit. 

Semua bilang, kalau cari kerja yang sesuai dengan kebidangan mu, yang kamu suka jadi jalaninnya enak. Ketika saya dapat yang saya suka, lalu kenapa semua orang melarang? Hanya karena apa yang saya suka itu bukan sesuatu yang semua orang suka? Hanya karena ini asing? minoritas? tidak biasa? uangnya gak lancar? Kenapa?

Sampai saya pada kesimpulan.

Oh. Ya begini ini hidup di Indonesia. Atau mungkin di bumi. Lakukan apa yang semua orang lakukan. Karena saat kita berbeda, kita itu salah, bukan unik.

Lucu.

Semua orang itu tidak sama. Apa anak yang lemah di pendidikan formal namun ternyata genius di bidang musik itu berarti dia bodoh?

01 March 2016

Fenomena Diet Mayo

Mungkin untuk orang Indonesia seumuran saya, satu hal ini sudah mulai menjadi mimik. Fenomena undangan nikahan. Yang biasanya kita dapat undangan dari kolega orang tua (orang tua yang diundang, kita ikut makan gratisnya aja) menjadi fenomena undangan dengan nama kita sebagai orang yang diundang. Kadang ada undangan yang bunyinya..

XXXX dan pasangan

Sakit lumayan buat yang jomblo berkepanjangan seperti saya hehe.

Saya sendiri sedang mengalami ini. Semenjak saya pulang ke tanah air, hampir setiap minggu saya menghadiri nikahan teman. Entah teman SMP, SMA, teman kuliah, teman waktu di Korea, teman ini itu anu, pokoknya teman seumuran.

Fenomena ini sebenarnya juga memunculkan banyak fenomena lain, diantaranya fenomena, diet. Kenapa? Setiap orang (termasuk saya) jadi lebih aware akan penampilannya disetiap undangan. Gimana caranya kelihatan bagus saat memakai kain atau kebaya. Kalau pestanya international, bagaimana cara terlihat bagus memakai gaun, iya ini menjadi perhatian kebanyakan pemuda saat ini. Ditambah lagi adanya kultur baru, bridesmaid. Ini dia.. INI! Hahahaha. Gimana caranya gak kalah cakep cantik ayu jelita dari bridesmaid yang lain dan kelihatan oke di foto, nah ini.

Salah satu fenomena diet yang ingin saya angkat pada postingan ini adalah diet mayo. Diet yang banyak ditawarkan di sosial media. Diet yang sepintas hasilnya terlihat instant. Diet yang gak perlu repot karena makanannya diantar dan disediakan langsung ke rumah atau kantor anda.


 Dua menu paling fulling selama program

Jadi sebenarnya, apa sih diet mayo ini? Dari beberapa website yang saya baca, sebenarnya diet mayo ini semacam detox untuk tubuh kita dari nasi dan garam selama 13 hari. Jadi karena kita tidak mengkonsumsi garam, harapannya saat kita kembali makan normal, berat badan yang sudah hilang itu tidak kembali lagi. Diet mayo ini juga tidak boleh dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Karena bagaimanapun, tubuh kita tetap membutuhkan asupan garam dan nasi. Ada yang bilang diet ini hanya boleh dilakukan 2 bulan sekali (diseling) ada juga yang bilang kalau baiknya hanya dilakukan setahun sekali. Saya kurang tahu mana yang benar. Sejujurnya saya sering dengar istilah diet garam seperti ini dari teman-teman Korea saya. Namun saya sempat merasa kok ini sepertinya terlalu ekstrim. Maka dari itu saya sempat ragu untuk mencoba sampai akhirnya diyakinkan oleh mama. Toh nggak ada salahnya dicoba.

Lalu saya akhirnya benar-benar mencoba hahaha. Dan hasilnya? Berhasil. Saya turun sekitar 6kg dalam waktu 13 hari. Tapi itu jujur tidak gampang. Namun bagi saya, yang penting berubah dulu. Pola makan saya berubah, total. Dari yang minum kopi setiap hari, ke gak minum kopi sama sekali. Dari yang ga bisa minum air mineral kalo gak dingin, ke minum air anyep 4 botol yang 600ml setiap hari. Dari yang makan nasi, ke gak makan sama sekali. Dan seterusnya. Susah? Pasti. Tapi entah mengapa, mungkin karena ini bayar dan gak murah, saya jadi termotivasi.

Saya cheating udah kayak apaan tau. Dari hari pertama bahkan. Mama dan Papa super gak tega saat ngeliat makanan hari pertama. Saya sampai disidang "Kamu kalo lemes, pusing, langsung makan yah," dan pada akhirnya Mama selalu memberikan menu tambahan untuk saya. Setiap hari. Karena jujur, lemes. Alhamdulillah saya punya Mama yang sangat supportif yang dengan baiknya memberikan menu no salt tambahan setiap hari. Thank you Mom.

Mungkin efeknya akan berbeda ke setiap orang. Jujur, ini pasti perut saya kaget banget. Saat porsi yang masuk kadang cuma seperempat dari porsi yang biasa saya makan (sayang yang ada fotonya yang porsinya banyak aja). Saya semenjak balik dari Korea, makan itu sangat membabi buta. Saya yakin paling nggak saya sudah naik 5kg semenjak Oktober 2015. Jadi tiba-tiba makan sesedikit ini, pasti perutnya kaget.

Tapi akhirnya sekarang saya jadi terbiasa tidak makan nasi (sudah 3 minggu) dan tidak minum air dingin. Semoga ini membawa perubahan yang baik buat saya. Bukan supaya kurus. Tapi supaya sehat hehehe.

15 February 2016

Should i regret this?

Its been a while, isn't it?
Semenjak pulang dari Korea saya lumayan sibuk cari tiket untuk balik ke Korea. Eh?! Ngga deng, sibuk cari kerja. Gak cuma cari kerja, saya juga sibuk mencari apa yang sebenarnya ingin saya lakukan saat ini. Karena jujur, blank.

Cuaca hari ini lumayan ekstrim. Jakarta (dan Bekasi!) diguyur hujan lebat yang disertai angin kencang serta guntur (halilintar? gledek?). Banyak jalan banjir, kamar saya pun banjir (kebocoran), dan ini Valentine lol. Untung gak ikutan baper dan banjir air mata. Padahal siangnya sempet menghadiri pernikahan Erlandy dulu sama Nifa, baru abis itu main jalan ngobrol karaoke. Ntah gimana, pas sampe di rumah malah segalau ini, segamang ini, sama pilihan hidup.

Pardon my broken korean ^-^
I wrote this in the airplane with tears in my eyes, so yeah..

Kata orang penyesalan selalu datang belakangan. Untuk yang satu ini, saya bahkan nggak tau, apakah saya menyesal atau ini hanya pikiran sesaat karena sejujurnya saya belum ada aktivitas yang rutin dan memerlukan konsentrasi tinggi, atau memang saya sungguh menyesali keputusan ini. Keputusan untuk pulang ke tanah air, Indonesia.

Sebetulnya kenapa terbersit pikiran seperti ini? Satu yang saya sadari, saya kecewa. Kecewa dengan realita yang ada di Indonesia tercinta ini. Ketika 2 tahun tinggal di Korea dan terbiasa dengan budaya bergerak cepat, budaya tertib, budaya disiplin, budaya tepat waktu, budaya self service, lalu kembali ke tanah air yang semua terbalik, bahkan sampai sekarang saya masih tidak terbiasa dengan semuanya. Mulai muncul pikiran, do i belong here? Saya juga jujur, sampai sekarang masih membandingkan semua yang saya dapat dan alami disini, dengan apa yang saya dapat dan alami di Korea. 

"Kalo di Korea mah.."

"Waktu gue di Korea sih.."

"Kalo misalnya di Seoul yah.."

Masih sering keluar dari mulut saya. Masih.

Lalu balada mencari kerja di Indonesia pun.. hah.. Saya merasa kita, para pencari kerja di Indonesia, biar kata lulusan S100 (lebay) tetap akan dianggap sampah. Sampah yang berpendidikan. Oleh perusahaan, or at least 'some' of the interviewer. Nggak semua, nggak kok, banyak pengalaman yang oke juga, tapi yang nggak oke jauh lebih banyak. Disuruh dateng jam sekian, baru mulai interview 5 jam kemudian? Pernah. Padahal kandidat cuma 2 orang. Pernah ditelpon pas adzan magrib (bener-bener pas adzan, saya lagi pake mukena) dan langsung ditodong interview ditelpon saat itu juga? Pernah. Pernah diragukan ijasah S1 saya? PERNAH! Pernah direndahin karena penampilan? Jelas pernah. Dengan ini semua saya jadi gak heran, gak heran kalau para lulusan luar negeri, anak muda berprestasi, berpendidikan tinggi, lebih memilih tinggal dan bekerja di luar negeri. Saya juga jadi maklum kalau mereka pindah kewarganegaraan.

Jangan ngomongin gaji deh. Saya kasih tau, gaji fresh graduate di Indonesia itu, at least, 10x lebih rendah dari di Korea. Iya saya juga bingung kenapa saya memilih pulang ke Indonesia. 

Jujur, saya suka baper kalau liat posting teman-teman yang memilih untuk melanjutkan hidup di Korea, kerja, dan bahkan berkeluarga disana. Masih. Baper. Banget. Saya tau bekerja di Korea tidak mudah, keras. Tapi apa bedanya dengan di Jakarta?

Saya tau, driving force saya untuk pulang adalah keluarga. Mama. Papa. Adek. Dan semua keluarga besar serta keberadaan sahabat-sahabat saya. Serta Agama. Yang saya sangat sulit jalani dengan baik dan benar disana (disini aja masih begini bentukannya). Tapi setelah saya jalani, untuk everyday life, tinggal di Korea atau mungkin somewhere diluar sana is much better than here. No place feels like home, but sadly my home is not comfortable enough for me. Rather than here, i might say that Korea is my comfort zone. 

Jadi, harus saya sesali keputusan saya untuk pulang ke Indonesia?

Saya juga, jujur, tidak tau. Sebagian dari diri saya merasa ini keputusan yang tepat, tapi sebagian lagi mengatakan sebaliknya.