15 February 2016

Should i regret this?

Its been a while, isn't it?
Semenjak pulang dari Korea saya lumayan sibuk cari tiket untuk balik ke Korea. Eh?! Ngga deng, sibuk cari kerja. Gak cuma cari kerja, saya juga sibuk mencari apa yang sebenarnya ingin saya lakukan saat ini. Karena jujur, blank.

Cuaca hari ini lumayan ekstrim. Jakarta (dan Bekasi!) diguyur hujan lebat yang disertai angin kencang serta guntur (halilintar? gledek?). Banyak jalan banjir, kamar saya pun banjir (kebocoran), dan ini Valentine lol. Untung gak ikutan baper dan banjir air mata. Padahal siangnya sempet menghadiri pernikahan Erlandy dulu sama Nifa, baru abis itu main jalan ngobrol karaoke. Ntah gimana, pas sampe di rumah malah segalau ini, segamang ini, sama pilihan hidup.

Pardon my broken korean ^-^
I wrote this in the airplane with tears in my eyes, so yeah..

Kata orang penyesalan selalu datang belakangan. Untuk yang satu ini, saya bahkan nggak tau, apakah saya menyesal atau ini hanya pikiran sesaat karena sejujurnya saya belum ada aktivitas yang rutin dan memerlukan konsentrasi tinggi, atau memang saya sungguh menyesali keputusan ini. Keputusan untuk pulang ke tanah air, Indonesia.

Sebetulnya kenapa terbersit pikiran seperti ini? Satu yang saya sadari, saya kecewa. Kecewa dengan realita yang ada di Indonesia tercinta ini. Ketika 2 tahun tinggal di Korea dan terbiasa dengan budaya bergerak cepat, budaya tertib, budaya disiplin, budaya tepat waktu, budaya self service, lalu kembali ke tanah air yang semua terbalik, bahkan sampai sekarang saya masih tidak terbiasa dengan semuanya. Mulai muncul pikiran, do i belong here? Saya juga jujur, sampai sekarang masih membandingkan semua yang saya dapat dan alami disini, dengan apa yang saya dapat dan alami di Korea. 

"Kalo di Korea mah.."

"Waktu gue di Korea sih.."

"Kalo misalnya di Seoul yah.."

Masih sering keluar dari mulut saya. Masih.

Lalu balada mencari kerja di Indonesia pun.. hah.. Saya merasa kita, para pencari kerja di Indonesia, biar kata lulusan S100 (lebay) tetap akan dianggap sampah. Sampah yang berpendidikan. Oleh perusahaan, or at least 'some' of the interviewer. Nggak semua, nggak kok, banyak pengalaman yang oke juga, tapi yang nggak oke jauh lebih banyak. Disuruh dateng jam sekian, baru mulai interview 5 jam kemudian? Pernah. Padahal kandidat cuma 2 orang. Pernah ditelpon pas adzan magrib (bener-bener pas adzan, saya lagi pake mukena) dan langsung ditodong interview ditelpon saat itu juga? Pernah. Pernah diragukan ijasah S1 saya? PERNAH! Pernah direndahin karena penampilan? Jelas pernah. Dengan ini semua saya jadi gak heran, gak heran kalau para lulusan luar negeri, anak muda berprestasi, berpendidikan tinggi, lebih memilih tinggal dan bekerja di luar negeri. Saya juga jadi maklum kalau mereka pindah kewarganegaraan.

Jangan ngomongin gaji deh. Saya kasih tau, gaji fresh graduate di Indonesia itu, at least, 10x lebih rendah dari di Korea. Iya saya juga bingung kenapa saya memilih pulang ke Indonesia. 

Jujur, saya suka baper kalau liat posting teman-teman yang memilih untuk melanjutkan hidup di Korea, kerja, dan bahkan berkeluarga disana. Masih. Baper. Banget. Saya tau bekerja di Korea tidak mudah, keras. Tapi apa bedanya dengan di Jakarta?

Saya tau, driving force saya untuk pulang adalah keluarga. Mama. Papa. Adek. Dan semua keluarga besar serta keberadaan sahabat-sahabat saya. Serta Agama. Yang saya sangat sulit jalani dengan baik dan benar disana (disini aja masih begini bentukannya). Tapi setelah saya jalani, untuk everyday life, tinggal di Korea atau mungkin somewhere diluar sana is much better than here. No place feels like home, but sadly my home is not comfortable enough for me. Rather than here, i might say that Korea is my comfort zone. 

Jadi, harus saya sesali keputusan saya untuk pulang ke Indonesia?

Saya juga, jujur, tidak tau. Sebagian dari diri saya merasa ini keputusan yang tepat, tapi sebagian lagi mengatakan sebaliknya.